Kasus Bayi Meninggal di RSUD Sultan Sulaiman: Klarifikasi Pemerintah Sergai Dinilai Tak Empatik, Praktisi Hukum Sarankan Lapor ke Majelis Disiplin Profesi
Sergai, Sumut. OPSINEWS.COM - Kasus dugaan kelalaian medis yang menyebabkan bayi dalam kandungan meninggal dunia di RSUD Sultan Sulaiman, Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai), terus menjadi sorotan tajam publik.
Klarifikasi yang disampaikan Pemerintah Sergai melalui Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) dianggap tidak memberikan kejelasan, bahkan dinilai melukai hati keluarga korban yang sedang berduka.
Awal Kasus: Sorotan Publik Meluas
Tragedi ini pertama kali diberitakan oleh Opsinews.com pada Sabtu, 6 September 2025 | 17:03 WIB dengan judul:
"Miris! Bayi Dalam Kandungan Meninggal Diduga Akibat Kelalaian RSU Sultan Sulaiman Sergai, Dokter Tak Hadir Saat Pasien Darurat."
Berita lanjutan muncul pada Minggu, 7 September 2025 | 20:22 WIB, berjudul:
"Diduga Kadis Kesehatan dan Direktur RSU Sultan Sulaiman Kompak Bungkam, Penasehat Hukum: Jika Dokter Tak Hadir Saat Pasien Darurat, Itu Pelanggaran Hukum.
Kasus ini mencuat setelah seorang ibu hamil, Tonggoria Tambun (31), warga Desa Bakaran Batu, Kecamatan Sei Bamban, Kabupaten Sergai, kehilangan bayinya.
Informasi yang beredar menyebutkan bahwa saat pasien berada dalam kondisi darurat, dokter yang seharusnya menangani tidak berada di tempat. Hal ini menimbulkan dugaan kelalaian serius dalam pelayanan medis.
Tragedi ini memicu kemarahan dan keprihatinan masyarakat, karena menyangkut hak dasar setiap warga negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang cepat, tepat, dan memadai.
Klarifikasi Diskominfo Sergai: RSUD Klaim Telah Berupaya Maksimal
Menanggapi polemik tersebut, Kepala Diskominfo Sergai, Ingan Malem Tarigan, SE, MM, memberikan klarifikasi resmi pada Senin, 8 September 2025.
Ia menegaskan bahwa tim medis RSUD Sultan Sulaiman telah melakukan penanganan sesuai standar operasional prosedur (SOP).
“Pasien datang pada dini hari dengan keluhan mulas yang telah dirasakan sejak malam sebelumnya,” jelas Ingan.
“Dokter IGD langsung melakukan pemeriksaan menyeluruh dan mencatat kondisi vital pasien, kemudian melaporkan hasilnya kepada Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP). Setelah itu, tim medis menstabilkan kondisi pasien sesuai instruksi dokter spesialis obgyn,” tambahnya.
Menurut Ingan, setelah diputuskan untuk melakukan operasi sesar, bayi lahir dalam kondisi tidak langsung menangis, sehingga tim medis segera melakukan tindakan resusitasi.
“Tindakan resusitasi dilakukan bersama dokter spesialis anak dan dokter anestesi selama kurang lebih 30 menit. Penanganan ini melibatkan tiga dokter spesialis dalam tim multidisiplin,” terangnya.
Pemkab Sergai juga menyampaikan duka cita mendalam kepada keluarga korban dan berkomitmen untuk terus meningkatkan pelayanan kesehatan agar lebih responsif dan berkualitas bagi masyarakat.
Kritik Dr. Fredy Simanjuntak: Klarifikasi Tak Sentuh Hati Korban
Klarifikasi tersebut mendapat kritik tajam dari praktisi hukum dan penasehat Opsinews.com, Dr. Fredy Simanjuntak, SH, MH.
Ia menilai bahwa penjelasan pemerintah terlalu teknis dan tidak menyentuh aspek empati serta tanggung jawab moral terhadap keluarga yang kehilangan.
“Klarifikasi yang disampaikan pemerintah Sergai, khususnya Diskominfo, sangat kami sayangkan. Pernyataan mereka hanya memaparkan pelayanan yang katanya sudah dilakukan, tetapi sama sekali tidak menyinggung penderitaan korban. Ini jelas melukai hati keluarga yang kehilangan,” tegas Fredy, Selasa (9/9/2025).
Menurut Fredy, dalam situasi seperti ini pemerintah seharusnya hadir bukan hanya sebagai pembela institusi, melainkan sebagai penengah yang objektif, memberikan informasi transparan, serta mencari solusi konkret.
“Jangan hanya bicara teknis pelayanan tanpa melihat fakta bahwa ada nyawa yang melayang. Yang dibutuhkan masyarakat adalah keterbukaan informasi, tanggung jawab, dan empati, bukan pembelaan sepihak,” tambahnya.
Aspek Hukum: Potensi Pelanggaran Jika Dokter Tak Hadir
Fredy juga menekankan bahwa jika benar dokter tidak hadir saat pasien dalam kondisi darurat, hal ini bukan sekadar kelalaian medis, tetapi juga pelanggaran hukum.
“Tenaga medis, khususnya dokter, memiliki kewajiban hukum untuk memberikan pertolongan darurat tanpa alasan apapun. Jika pasien meninggal karena tidak ditangani tepat waktu, ini bisa masuk ranah pidana,” jelasnya.
Langkah Hukum yang Bisa Ditempuh Keluarga
Selain pelaporan ke pihak kepolisian, Fredy juga menyarankan keluarga korban untuk membawa kasus ini ke tingkat yang lebih tinggi.
“Pihak keluarga bisa melaporkan kasus ini ke Majelis Disiplin Profesi (MDP) di Jakarta, merujuk pada UU No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan,” kata Fredy.
Menurutnya, MDP memiliki wewenang untuk memeriksa pelanggaran etik dan disiplin yang dilakukan tenaga kesehatan, termasuk dokter dan manajemen rumah sakit.
“Melalui jalur ini, diharapkan ada penegakan disiplin yang jelas dan pemberian sanksi tegas kepada pihak yang terbukti lalai, sehingga kejadian tragis seperti ini tidak terulang di masa mendatang,” imbuhnya.
Tuntutan Transparansi dan Empati dari Pemerintah
Fredy juga meminta Bupati Sergai dan jajaran pemerintah daerah untuk mengambil langkah tegas, tidak hanya demi keadilan keluarga korban tetapi juga untuk mengembalikan kepercayaan publik.
“Nyawa manusia jauh lebih berharga daripada sekadar menjaga nama baik institusi. Pemerintah harus menunjukkan sikap transparan, empatik, dan benar-benar hadir untuk rakyat,” pungkasnya.
Kesimpulan
Kasus ini memperlihatkan konflik narasi antara klarifikasi pemerintah dan suara masyarakat.
Di satu sisi, Diskominfo Sergai menyatakan bahwa RSUD Sultan Sulaiman telah menangani pasien sesuai SOP.
Namun di sisi lain, keluarga korban dan praktisi hukum melihat adanya indikasi kelalaian serius yang berujung pada hilangnya nyawa bayi.
Hingga berita ini diturunkan, RSUD Sultan Sulaiman dan Dinas Kesehatan Sergai belum memberikan keterangan lebih lanjut terkait dugaan kelalaian dan kemungkinan pertanggungjawaban hukum. (Mendrova)
Komentar Anda :